Oleh
: Siami Maysaroh
“Bukankah
seharusnya media menjadi ‘anjing penjaga’ masyarakat tentang keberadaan
pemerintah. Bukan menjadi ‘anjing peliharaan’ pemerintah untuk
mengombang-ambingkan masyarakat”
Pernyataan diatas adalah pernyataan
yang disampaikan oleh dosen disalah satu perguruan tinggi swasta. Dari
pernyataan diatas maka timbulah sebuah pertanyaan, ‘Apakah dalam masyarakat
yang serba modern pada saat ini kita bisa lepas dari pengaruh media massa?’ ini
mungkin pertanyaan singkat dan terkesan sepele, Namun pertanyaan ini jelas
sekali jawabannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Terlebih masyarakat pada
umumnya, atau mahasiswa pada khususnya begitu mendapat pengaruh yang besar
dalam hal perilaku, pola pikir atapu hal lain dalam kehidpan mereka.
Dalam penyebaran informasi pun, di
era global seperti saat ini memang sangatlah cepat. Kita dapat memperoleh
informasi dari berbagai media cetak maupun elektronik. Masyarakat pada umumnya
atau mahasiswa pada khususnya akan di cap tertinggal jika melewatkan sedikit
saja pemberitaan yang disiarkan di media. Dan oleh karena nya, mahasiswa saat
ini dituntut ntuk dapat aktif dalam memburu inforamsi yang disajikan oleh
media. Karena fungsi sebuah informasi dalam berita tidaklah hanya untuk sebuah
pengetahuan saja, namun juga dijadikan
sebagai sebuah penilaian status social dalam masyarakat luas.
Kebebasan media tidak begitu saja
dapat kita nikmati seperti sekarang ini. Bayak hal yang kita lalui sebelum
media dan pers Indonesia kemudian menjadi sebebas ini. Kita menjadi bebas
menyampaikan aspirasi kita dalam iklim demokratis ini melalui media. Kebebasan
yang dianggap dapat membuat manusia berada tegak pada fitrahnya.
Namun dengan kebebasan penyebaran informasi
pun, terkadang pers yang bertindak sebagai media berlaku diluar batas yang
seharusnya. Dengan dalih pembenaran FREDOOM
of the press yang adalah sebuah kata yang sering diucapkan oleh para pers
Indonesia saat era reformasi ini.[1]
Sayangnya sebagaian besar yang mengucapakannya tidak secara sungguh mengetahui
dan memahami apa makna dibaliknya. Bahkan ekstrimnya saat ini ada yang mengira
bahwa kebebasan pers adalah mutlak, hingga pelaku pers sendiri pun menilai
demikian. Seperti yang terjadi saat ini. Media massa sering mencap beberapa
kelompok massa tertentu sebagai kelompok yang “anarki”, maka sesungguhnya media
massa tersebutlah yang telah melakukan tindakan yang “anarki”, yaitu dengan
memberikan cap kepada sekelompok massa tanpa memiliki dasar yang jelas dengan
hanya mengutip kecaman seorang narasumber, tanpa investigasi kebenaran
stigmatisasi tersebut.
Padahal jika ditelusuri secara lebih
dalam lagi, ungkapan fredoom of the pers
bukanlah karya asli bangsa atau masyarakat Indonesia, melainkan dikutip dari
amandemen pertama Konstitusi AS: “Congres
shall make no law… abridging the freedom of the speech, or of the press.”[2]
yang artinya kira-kira “ kongres dilarang menciptakan undang-undang/hukum
yang membatasi kebebasan berbicara dan kebebasan pres.
Kebebasan pers di Indoesia, lahir
mulanya pada tahun 1999 dengan ditutupnya Departement Penerangan dan
dilahirkannya UU Pers No. 40/1999. UU ini didasarkan pada pasal 19
International Convention of Human Rights, bahwa “Setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; yang dalam hal ini pendapatnya
dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan
keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dengan
tidak memandang batas-batas.”[3]
Dan dijelaskan pula pada pasal 28 UUD 45, yaitu “kemerdekaan pers pada dasarnya
merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat…”[4]
Tapi sekali lagi ditekankan, bahwa
kebebasan pers bukan lah ancaman, justru merupakan sebuah berkah bagi kita
semua. Informasi berita yang tersebar dimasyarakat lebih bervariasi, memiliki
banyak argument dari banyak sudut pandang tanpa ada yang harus
disembunyi-sembunyikan. Namun dilain pihak ini juga menuntut sebuah
konsekuensi, baik bagi pers itu sendiri ataupun untuk pemerintah dan
masyarakat. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Athur Hays Sulzberger,
yaitu “Seiring dengan surat kabar yang bertanggung jawab, harus ada pembaca
yang bertanggung jawab”. Karena tidak akan ada media yang bertanggung jawab
tanpa diiringi dengan masyarakat yang juga bertanggung jawab.
Dari pernyataan Athur tersebut jelas
bahwa media dan pers yang ditanamkan di Indonesia adalah yang bertanggung
jawab. Mungkin kita tidak lagi berada dalam era abad 18-an atau 19-an yang
masih menggunakan pakem journalism. Dengan bertolak pada Amerika Serikat yang
memiliki ideologi pers “freedom above
anyting else” (kebebsan diatas segala-galanya). Perkembangan aliran
jurnalime saat ini dimulai oleh Front
Page Journalism yang diperkenalakan oleh Joseph Pulitzer. Hingga memasuki
era 20-an saat ini jurnalisme menuju pada aliran baru yaitu “jurnalisme
presisi” atau precision journalism. Aliran
ini mengutamakan ketepatan data, bahasa yang efisisen, statistik, kalau perlu
peta dan grafik, kronologi waktu dan sebagainya.
Pada
tahun 60-an hingga 80-an, Koran Kompas menerapkan aliran precision journalism menjadi terdepan sebagai Koran terpecaya di
Indonesia. Namun tahun 70-90-an, Tempo membawa
masuk aliran Literary journalism atau
jurnalisme sastrawi, dengan kembalinya Goenawan Muhammad dan beberapa penulis
senior lainnya dari Amerika serikat.
Perkembangan
aliran jurnalisme berkembang secara pesat di belantika per-media-an dunia.
Perkembangan ini memang berkembang dan menjadi paham sesuai dengan kebutuhan
yang dibutuhkan oleh pers saat itu. Seperti halnya di jerman pada tahun 90-an Johan
Galtung (seorang professor di Universitas Swedia) dan teman-teman pers
menciptakan sebuah paham baru yang diberi nama Jurnalisme Damai atau Peace Journalism, yang kemudian besar
dalam iklim konflik di Jerman. Paham ini menggunakan pendekatan Investigasi Reporting yang dimulai dari
pendiriian Peace Forum oleh Johan dan
para pengikutnya saat itu.
Ada
juga Jacob Oetama (Kompas-Gramedia), dalam perkembangan pers beliau pernah
memperkenalakan Insight journalism (Jurnalisme
Makna), namun sayangnya tak seorang pun kemudian yang bertanya, siapa yang berhak memberi makna? Yang
kemudian besar khusunya di Indonesia menjadi paham ‘Journalism of attachment’
atau jurnalisme yang berperasaan. Dan paham ini pun sempat menjadi perdebatan
yang sengit di Indonesia sejak terjadinya perang di Aceh lalu.
Perkembangan pers dan media semakin maju saja,
hingga pada tahun 2006, Robert Fisk (The
Indepndent) seorang wartawan inggris memunculkan istilah baru yaitu “mouse journalism. Ini bukan jurnalisme on- line, dimana wartawan tinggal nge-clik mouse-nya , maka data yang diperlukan semua akan keluar. Yang dimaksud oleh
Risk adalah sebuah tindakan jurnalis yang benar-benar berlaku layaknya seorang
tikus seperti yang ditulisnya dalam buku “The Great War of Civilization” yang
diterbitkan pada 2006 lalu. Dalam penjelasannya dia mencotohkan dirinya
sendiri, “saya hanya bisa muncul seketika disebuah kejadian, bertahan sekitar 5
menit, menjepret dua jepretan foto, menanyai satu dua orang, lalu segera
menyingkir, sebelum orang-orang bersenjata mengerumuni atau mendekati saya.” kisahnya.
Perkembangan
tersebut hingga menyentuh Immerssion
Journalism, ini adalah istilah baru
yang mungkin belum ada terjemahan bahasa Indonesianya yang tepat. Immerssion Jurnalism adalah pendekatan
yang dipraktikan oleh seorang jurnalis melalui ‘menjadi’ subjek peliputnya.
‘immerssion’ (berbaur) dengan lingkungannya, agar dapat lebih menghayati dan
menghasilkan karya jurnalistik yang realistis dan menyuarakan kebenaran.
Kebebasan
yang saat ini dimiliki tentu bukanlah menjadi sebuah momok yang mengerikan,
baik itu dari sudut pandang narasumber ataupun subjek pemberitaan. Sedangkan
bagi pers, ini adalah sebuah euphoria tersendiri. Kita hanya perlu menyikapai
ini dengan dewasa, demokratis, bijaksana dan bertanggung jawab. Seperti kata
Thomas Jefferson, salah satu presiden AS yang sempat menjawab sebuah
kekhawatiran dari beberapa pihak akan privilege yang berlebihan yang bersumber
dari adanya The First Amandement, “The benefits of it would outweigh the risk.”[5]
Keuntungkan yang dihasilkan dari kebebasan pers lebih besar dari pada resiko
yang ditimbulkannya.
Sejalan
dengan Pernyataan Sirikit dalam bukunya
“Rambu-rambu Jurnalistik”, bahwa tak ada yang boleh memiliki kebebasan
yang mutlak di dunia ini,terutama entitas dengan kekuasaan seperti pers.
Kebebasan pers sudah seharusnya memiliki rambu-rambu, agar
kepentingan-kepentingan anggota masyarakat tidak saling bertabrakan.
Sedemikian
banyak paham yang berkembang, hanya satu yang sesungguhnya menjadi tujuan besar
seluruh pers Indonesia. Yaitu menciptkan pers yang memiliki nilai moral yang
humanis dan memberikan banyak arti bagi orang-orang diluar sana.
[1]
Sirikit Syah, Rambu-rambu
Jurnalistik Dari Undang-undang hingga
nurani, Pustaka pelajar, 2011
[2]
Melvin L. DeFleur dan Everette E. Denis, Understanding
Mass Communication, Houghton Miffilin Company, 1994
[3]
David P.Forsythe, “Hak-hak Asasi Manusia
dan Politik Dunia, terjemahan Tom Gunadi, Penerbit Angkasa Bandung, 1993
[4] UU
RI No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Departement Penerangan RI, 1999.
[5]
Philip Meyer, Ethical Journalism, Longman,
1987
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih telah mengunjungi blog kami..
silahkan tinggalkan kripik pedasnya :D