Kamis, 03 Mei 2012

Media dan Pers Dalam isme-isme yang berkembang


Oleh : Siami Maysaroh

“Bukankah seharusnya media menjadi ‘anjing penjaga’ masyarakat tentang keberadaan pemerintah. Bukan menjadi ‘anjing peliharaan’ pemerintah untuk mengombang-ambingkan masyarakat”
            Pernyataan diatas adalah pernyataan yang disampaikan oleh dosen disalah satu perguruan tinggi swasta. Dari pernyataan diatas maka timbulah sebuah pertanyaan, ‘Apakah dalam masyarakat yang serba modern pada saat ini kita bisa lepas dari pengaruh media massa?’ ini mungkin pertanyaan singkat dan terkesan sepele, Namun pertanyaan ini jelas sekali jawabannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Terlebih masyarakat pada umumnya, atau mahasiswa pada khususnya begitu mendapat pengaruh yang besar dalam hal perilaku, pola pikir atapu hal lain dalam kehidpan mereka.
            Dalam penyebaran informasi pun, di era global seperti saat ini memang sangatlah cepat. Kita dapat memperoleh informasi dari berbagai media cetak maupun elektronik. Masyarakat pada umumnya atau mahasiswa pada khususnya akan di cap tertinggal jika melewatkan sedikit saja pemberitaan yang disiarkan di media. Dan oleh karena nya, mahasiswa saat ini dituntut ntuk dapat aktif dalam memburu inforamsi yang disajikan oleh media. Karena fungsi sebuah informasi dalam berita tidaklah hanya untuk sebuah pengetahuan saja,  namun juga dijadikan sebagai sebuah penilaian status social dalam masyarakat luas.
            Kebebasan media tidak begitu saja dapat kita nikmati seperti sekarang ini. Bayak hal yang kita lalui sebelum media dan pers Indonesia kemudian menjadi sebebas ini. Kita menjadi bebas menyampaikan aspirasi kita dalam iklim demokratis ini melalui media. Kebebasan yang dianggap dapat membuat manusia berada tegak pada fitrahnya.
            Namun dengan kebebasan penyebaran informasi pun, terkadang pers yang bertindak sebagai media berlaku diluar batas yang seharusnya. Dengan dalih pembenaran FREDOOM of the press yang adalah sebuah kata yang sering diucapkan oleh para pers Indonesia saat era reformasi ini.[1] Sayangnya sebagaian besar yang mengucapakannya tidak secara sungguh mengetahui dan memahami apa makna dibaliknya. Bahkan ekstrimnya saat ini ada yang mengira bahwa kebebasan pers adalah mutlak, hingga pelaku pers sendiri pun menilai demikian. Seperti yang terjadi saat ini. Media massa sering mencap beberapa kelompok massa tertentu sebagai kelompok yang “anarki”, maka sesungguhnya media massa tersebutlah yang telah melakukan tindakan yang “anarki”, yaitu dengan memberikan cap kepada sekelompok massa tanpa memiliki dasar yang jelas dengan hanya mengutip kecaman seorang narasumber, tanpa investigasi kebenaran stigmatisasi tersebut.
            Padahal jika ditelusuri secara lebih dalam lagi, ungkapan fredoom of the pers bukanlah karya asli bangsa atau masyarakat Indonesia, melainkan dikutip dari amandemen pertama Konstitusi AS: “Congres shall make no law… abridging the freedom of the speech, or of the press.”[2] yang artinya kira-kira “ kongres dilarang menciptakan undang-undang/hukum yang membatasi kebebasan berbicara dan kebebasan pres.
            Kebebasan pers di Indoesia, lahir mulanya pada tahun 1999 dengan ditutupnya Departement Penerangan dan dilahirkannya UU Pers No. 40/1999. UU ini didasarkan pada pasal 19 International Convention of Human Rights, bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; yang dalam hal ini pendapatnya dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dengan tidak memandang batas-batas.”[3] Dan dijelaskan pula pada pasal 28 UUD 45, yaitu “kemerdekaan pers pada dasarnya merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat…”[4]
            Tapi sekali lagi ditekankan, bahwa kebebasan pers bukan lah ancaman, justru merupakan sebuah berkah bagi kita semua. Informasi berita yang tersebar dimasyarakat lebih bervariasi, memiliki banyak argument dari banyak sudut pandang tanpa ada yang harus disembunyi-sembunyikan. Namun dilain pihak ini juga menuntut sebuah konsekuensi, baik bagi pers itu sendiri ataupun untuk pemerintah dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Athur Hays Sulzberger, yaitu “Seiring dengan surat kabar yang bertanggung jawab, harus ada pembaca yang bertanggung jawab”. Karena tidak akan ada media yang bertanggung jawab tanpa diiringi dengan masyarakat yang juga bertanggung jawab.
            Dari pernyataan Athur tersebut jelas bahwa media dan pers yang ditanamkan di Indonesia adalah yang bertanggung jawab. Mungkin kita tidak lagi berada dalam era abad 18-an atau 19-an yang masih menggunakan pakem journalism. Dengan bertolak pada Amerika Serikat yang memiliki ideologi pers “freedom above anyting else” (kebebsan diatas segala-galanya). Perkembangan aliran jurnalime saat ini dimulai oleh Front Page Journalism yang diperkenalakan oleh Joseph Pulitzer. Hingga memasuki era 20-an saat ini jurnalisme menuju pada aliran baru yaitu “jurnalisme presisi” atau precision journalism. Aliran ini mengutamakan ketepatan data, bahasa yang efisisen, statistik, kalau perlu peta dan grafik, kronologi waktu dan sebagainya.
Pada tahun 60-an hingga 80-an, Koran Kompas  menerapkan aliran precision journalism menjadi terdepan sebagai Koran terpecaya di Indonesia. Namun tahun 70-90-an, Tempo membawa masuk aliran Literary journalism atau jurnalisme sastrawi, dengan kembalinya Goenawan Muhammad dan beberapa penulis senior lainnya dari Amerika serikat.
Perkembangan aliran jurnalisme berkembang secara pesat di belantika per-media-an dunia. Perkembangan ini memang berkembang dan menjadi paham sesuai dengan kebutuhan yang dibutuhkan oleh pers saat itu. Seperti halnya di jerman pada tahun 90-an Johan Galtung (seorang professor di Universitas Swedia) dan teman-teman pers menciptakan sebuah paham baru yang diberi nama Jurnalisme Damai atau Peace Journalism, yang kemudian besar dalam iklim konflik di Jerman. Paham ini menggunakan pendekatan Investigasi Reporting yang dimulai dari pendiriian Peace Forum oleh Johan dan para pengikutnya saat itu.
Ada juga Jacob Oetama (Kompas-Gramedia), dalam perkembangan pers beliau pernah memperkenalakan Insight journalism (Jurnalisme Makna), namun sayangnya tak seorang pun kemudian yang bertanya, siapa yang berhak memberi makna? Yang kemudian besar khusunya di Indonesia menjadi paham ‘Journalism of attachment’ atau jurnalisme yang berperasaan. Dan paham ini pun sempat menjadi perdebatan yang sengit di Indonesia sejak terjadinya perang di Aceh lalu.
  Perkembangan pers dan media semakin maju saja, hingga pada tahun 2006, Robert Fisk (The Indepndent) seorang wartawan inggris memunculkan istilah baru yaitu “mouse journalism. Ini bukan jurnalisme on- line, dimana wartawan tinggal nge-clik mouse-nya , maka data yang diperlukan semua akan keluar. Yang dimaksud oleh Risk adalah sebuah tindakan jurnalis yang benar-benar berlaku layaknya seorang tikus seperti yang ditulisnya dalam buku “The Great War of Civilization” yang diterbitkan pada 2006 lalu. Dalam penjelasannya dia mencotohkan dirinya sendiri, “saya hanya bisa muncul seketika disebuah kejadian, bertahan sekitar 5 menit, menjepret dua jepretan foto, menanyai satu dua orang, lalu segera menyingkir, sebelum orang-orang bersenjata mengerumuni atau mendekati saya.” kisahnya.
Perkembangan tersebut hingga menyentuh Immerssion Journalism,  ini adalah istilah baru yang mungkin belum ada terjemahan bahasa Indonesianya yang tepat. Immerssion Jurnalism adalah pendekatan yang dipraktikan oleh seorang jurnalis melalui ‘menjadi’ subjek peliputnya. ‘immerssion’ (berbaur) dengan lingkungannya, agar dapat lebih menghayati dan menghasilkan karya jurnalistik yang realistis dan menyuarakan kebenaran.
Kebebasan yang saat ini dimiliki tentu bukanlah menjadi sebuah momok yang mengerikan, baik itu dari sudut pandang narasumber ataupun subjek pemberitaan. Sedangkan bagi pers, ini adalah sebuah euphoria tersendiri. Kita hanya perlu menyikapai ini dengan dewasa, demokratis, bijaksana dan bertanggung jawab. Seperti kata Thomas Jefferson, salah satu presiden AS yang sempat menjawab sebuah kekhawatiran dari beberapa pihak akan privilege yang berlebihan yang bersumber dari adanya The First Amandement, “The benefits of it would outweigh the risk.”[5] Keuntungkan yang dihasilkan dari kebebasan pers lebih besar dari pada resiko yang ditimbulkannya.
Sejalan dengan Pernyataan Sirikit dalam bukunya  “Rambu-rambu Jurnalistik”, bahwa tak ada yang boleh memiliki kebebasan yang mutlak di dunia ini,terutama entitas dengan kekuasaan seperti pers. Kebebasan pers sudah seharusnya memiliki rambu-rambu, agar kepentingan-kepentingan anggota masyarakat tidak saling bertabrakan.
Sedemikian banyak paham yang berkembang, hanya satu yang sesungguhnya menjadi tujuan besar seluruh pers Indonesia. Yaitu menciptkan pers yang memiliki nilai moral yang humanis dan memberikan banyak arti bagi orang-orang diluar sana.


[1] Sirikit Syah, Rambu-rambu Jurnalistik  Dari Undang-undang hingga nurani, Pustaka pelajar, 2011
[2] Melvin L. DeFleur dan Everette E. Denis, Understanding Mass Communication, Houghton Miffilin Company, 1994
[3] David P.Forsythe, “Hak-hak Asasi Manusia dan Politik Dunia, terjemahan Tom Gunadi, Penerbit Angkasa Bandung, 1993
[4] UU RI No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Departement Penerangan RI, 1999.
[5] Philip Meyer, Ethical Journalism, Longman, 1987

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terimakasih telah mengunjungi blog kami..
silahkan tinggalkan kripik pedasnya :D