Oleh: Siami Khadijah Maysaroh
Sudah tak asing lagi mungkin perkara hukum dan politik yang kian lama kian memanas dikalangan warga Bengkulu. Bukan hanya kalangan Bengkulu bahkan kasus tua ini telah menyebar menjadi isu Nasional.
Korupsi, yang membuat bumi Raflesia ini terkenal dikalangan wajah Nusantara, dengan Predikat Ke-3 pemegang Juara Korupsi Terbesar Di Indonesia, setelah Jakarta dan Irian Jaya. Provinsi Bengkulu sudah semenjak 2006 silam mengalami masalah pada hukum daerah terkait kasus korupsi yang menyeret nama Gubernur Agusrin Maryono Najamudin.
Dugaan kasus itu bermula dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap APBD Provinsi Bengkulu tahun 2006, berdasarkan hasil audit BPK itu ditemukan penyalahgunaan dana bagi hasil pajak (PBB dan BPHTB) senilai Rp21,3 miliar. Seharusnya dana sebesar itu disimpan di rekening Bank Bengkulu atas nama kas umum daerah, tetapi dialihkan ke rekening Bank BRI Bengkulu.
Pengalihan dana sebesar itu berdasarkan surat Gubernur Bengkulu Agusrin Maryono Najamudin No.900/2228 /DPD.I tanggal 22 Maret 2006 yang ditujukan kepada Menteri Keuangan (Menku). Perihal penambahan nomor rekening daerah untuk menampung dana bagi hasil PBB dan BPHTB. Padahal Kantor Pelayanan PBB Bengkulu pada 15 Juni 2006 belum dapat memproses penambahan rekening karena belum adanya tanggapan dari Menku. Sedangkan dana tersebut tetap harus dikelola dalam rekening Kas umum daerah Provinsi Bengkulu.
Temuan BPK itu kemudian ditindak lanjuti oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu dan menetapkan Kepala Dispenda Chairudin sebagai tersangka yang kini sudah divonis selama satu tahun penjara oleh PN Bengkulu. Dalam persidangan tahun 2008 lalu, Chairudin mengaku bahwa seluruh pengeluaran uang yang dilakukannya atas pengetahuan dan persetujuan gubernur.
Perbuatan melawan hukum itu dilakukan Agusrin, karena dana bagi hasil pajak tidak dimasukan ke kas daerah, melainkan ke penampungan sementara guna mempermudah pengambilan dana tersebut dan tidak perlu izin DPRD. (Antara; Minggu, 14/06/2009)
Namun semenjak bergulirnya kasus ini dimeja hukum, penyelesaian perkara hukum ini terkesan santai. Baru setelah sekian lamanya berkutat dengan alasan dan pengalihan-pengalihan masalah kasus ini mulai ditangani oleh pihaknya. Tetapi penanganan kasus di Bengkulu ini terasa aneh dan janggal, hanya tersangka tunggal Kadispenda Provinsi Bengkulu. Elemen masyarakat Provinsi Bengkulu melapor ke KPK dan Kejagung. Hasilnya Kejagung menetapkan Gubernur Bengkulu “Agusrin ST” sebagai tersangka pada 28 Agustus 2008.
Berdasarkan Surat Perintah Penyidikan JamPidsus No: Print-45/F:/Fd.1/08/2008. Kejagung mengurus dan mengirim surat kepada Presiden RI :
1. Surat Izin Pemeriksaan
2. Surat Izin Penahanan
Presiden RI hanya mengeluarkan Surat Izin Pemeriksaan yang lama keluarnya yaitu pada 19 November 2008. Surat No:R-72/PRES/11/2008. Perihal tindakan penyelidikan terhadap Gubernur Bengkulu.
Begitu ditetapkan sebagai tersangka Gubernur Bengkulu “Agusrin ST” (Ketua Partai Demokrat Provinsi Bengkulu), mendadak akan melaksanakan ibadah haji. Walaupun sudah jadi tersangka beliau mendapat izin ke haji dari Mendagri. Tanggal 24 November Kejagung memanggil tersangka Gubernur Bengkulu. Tetapi ditunda karena akan ibadah haji.
Baru pada 30 dan 31 Desember 2008, Gubernur Bengkulu Agusrin ST diperiksa Kjagung. Tetapi Kjagung tidak dapat menahan beliau karena sampai dengan tanggal pemeriksaan tersebut surat izin penahanan dari Presiden tidak ada atau belum turun.
Untuk menjaga stabilitas politik di Bengkulu, pihak Kejaksaan Agung Bengkulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Agung agar kasus Agusrin diadili di PN Jakpus. Surat ini mendapat respons dari MA dengan keluarnya Surat Keputusan Mahkamah Agung MA RI No. 057/KMA/ SK/IV/2009 pada tanggal 28 April 2009. SK ini menunjuk PN Jakpus untuk memeriksa dan memutuskan perkara korupsi dengan tersangka Agusrin M Najamudin. Surat dari MA juga dapat diartikan bahwa kasus ini sesungguhnya telah siap dilimpahkan pada proses pengadilan. Pada Juni 2009 JamPidsus Marwan Effendy menyatakan, berkas akan dilimpahkan awal Juli 2009 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (Bataviase.co.id; Jumat, 24/12/2010)
Semua pihak jelas bertanya, keterlambatan atas pengusutan kasus ini, sebenarnya ada apa? Padahal kejaksaan agung sejak Juni 2009 menyatakan bahwa berkas perkara Gubernur Bengkulu telah dilimpahkan ke PN Jakarta Pusat pada awal Juli 2009. Sementara itu, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu pada akhir September 2009 menyatakan sidang Gubernur Bengkulu tersebut masih menunggu penyusunan surat dakwaan oleh jaksa utama di Kejagung.
Dugaan kepentingan kekuasaan yang menjadi faktor yang mempengaruhi tertundanya proses hukum Gubernur Bengkulu jelas berkaitan dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang mensyaratkan Kepala Daerah yang tersandung hukum harus dinonaktifkan dan diserahkan pada wakilnya.
Kebijakan tersebut berkaitan dengan kepentingan kekuasaan yang memberikan keuntungan financial bagi kepala daerah, diantaranya setoran illegal untuk kelulusan Tes Pegawai Negeri Sipil, proyek APBN dan APBD.
Sementara itu, pernyataan Gubernur Bengkulu di Media yang menyatakan lebih cepat lebih baik untuk proses hukum yang melibatkannya, pada hal tersebut bertentangan dengan permintaan penundaan secara tertulis yang diajukan penasehat hukum Agusrin M. Najamudin. Adanya penundaan tersebut, menunjukkan lemahnya penegakkan hukum di Indonesia. Untuk mendesak proses hukum terhadap Gubernur Bengkulu dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku dalam waktu dekat pihaknya juga mendatangi Kejaksaan Agung RI mempertanyakan komitmen dan tindakan lanjutan proses hukum Gubernur Bengkulu, Agusrin M. Najamudin dalam kasus korupsi yang sebelumnya mendudukkan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Bengkulu, Chairudin sebagai Terdakwa.
Kemudian kasus ini berlanjut pada Sidang pembacaan tuntutan terhadap Gubernur Bengkulu Non Aktif, Agusrin M. Najamudin di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (19/4/2011), yang menyatakan hukuman penjara selama 4 tahun enam bulan ditambah denda Rp 500 juta, subsidair enam bulan kurungan. Atas tuntutan yang dijatuhkan JPU tersebut, Agusrin melalui Kuasa Hukumnya, Marthin Pongrengkun mengajukan pembelaan atau pledoi yang dibacakan pada persidangan Selasa (26/4/2011).
Hingga pada Mei (25/2011) Persidangan dilanjutkan oleh PN Jakpus dengan putusan vonis Gubernur Non Aktif Bengkulu, Agusrin M. Najamudin Bebas Murni. Sontak putusaan ini menimbulkan Pro dan Kontra Diberbagai Pihak. Adanya Aksi yang digelar Oleh Kalangan Mahsiswa dari Universitas dan OKP serta pihak Kontra Agusrin menjadi bukti bahwa putusan tersebut mengecewakan. Tersangka yang sebelumnya mendapat hukuman selama 4 tahun dan enam bulan ditambah denda Rp 500 juta, kemudian dinyatakan Bebas Murni.
Tapi siapa sangka aksi dari pihak Kontra ini mendapat balasan aksi dari pihak Pro Agusrin, yang menyatakan dukungan atas putusan vonis bebas murni yang dijatuhkan pada Agusrin M. Najamudin. Terkait dengan rencana JPU yang akan mengajukan kasasi, mereka menyatakan agar Kajati tidak terintervensi massa yang kontra terhadap vonis Agusrin. Aksi yang digelar pada Minggu (29/2011) lalu ini sengaja digelar sebagai aksi penyambutan atas kepulangan Agusrin ke Bumi Raflesia.
Berita ini tak bertahan Lama. Jum’at (03/2011) Lalu satu berita mengagetkan kembali datang. Hakim Syarifuddin, yang merupakan ketua majelis hakim yang memutuskan Agusrin Najamuddin tidak bersalah dalam kasus korupsi dana pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan senilai Rp 21,3 miliar ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima suap terkait kasus kepailitan PT Skycamping Indonesia (PT SCI). Ia juga dikenal sebagai hakim yang membebaskan 39 terdakwa kasus korupsi.
ICW melihat setidaknya ada 12 kejanggalan dalam vonis bebas untuk Agusrin oleh hakim Syarifuddin yang disebut ICW sebagai hakim S. "Ada 12 poin kejaggalan dalam penanganan perkara korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas terdakwa Gubernur Bengkulu Agusril," kata penelici ICW Tama Satrya di kantor ICW, di Jakarta, Minggu (5/6/2011).
12 kejanggalan itu adalah sebagai mana dimuat pada inilah.com (Jum’at, 03/06/2011) berikut:
1. Putusan terdahulu AN Chairudin di Pengadilan Negeri Bengkulu tentang keterlibatan Gubernur dan kerjasama untuk membuka rekening khusus di Bank BRI Bengkulu tidak dijadikan pertimbangan oleh hakim. Padahal perbuatan Agusrin dan Chairudin diyakini secara bersama-sama melawan hukum dan bersama-sama telah merugikan keuangan negara.
2. Keterangan ahli BPK dan BPKP dalam hal perhitungan kerugian negara sama sekali tidak dijadikan pertimbagan oleh hakim. Padahal, sesuai hasil perhitungan BPK no 65/s/I-XV/07/2007 menunjukan adanya kerugian negara dalam kasus tersebut setidaknya Rp 20.162.974.300.
3. Saksi-saksi yang memberatkan Agusrin, seringkali dicecar bahkan seolah dipojokkan dalam persidangan oleh hakim.
4. Agusrin melakukan pengerahan masa dalam proses persidangan yang sisinyalir merupakan upaya untuk mengintimidasi.
5. Bukti surat asli no : 900/2228/DPD I tanggal 22 Maret 2006 yang ditandatangani oleh Agusrin tidak menjadi pertimbangan oleh hakim. Justru tanda tanggan Agusrin yang di-scan oleh Chairuddin dijadikan dasar bahwa surat Agusrin dipalsukan, padahal Jaksa dapat menunjukan surat asli yang ditanda-tangani oleh terdakwa.
6. Dalam upaya pembuktian yang dilakukan Jaksa, seringkali perkataan Jaksa dipotong oleh hakim S. Hakim S terkesan marah dan memotong penjelasan jaksa penuntut dengan suara keras.
7. Bukti foto tumpukan uang yang diterima oleh ajudan Agusrin tidak diperhitungkan oleh hakim. Foto itu diambil Chairuddin yang menunjukan bahwa ajudan agusrin, Nuim Hayat menerima uang dari yang bersangkutan di Bank BRI Kramat Raya.
8. Adanya bukti dana penyertaan modal dari Bengkulu Mandiri (BUMD) kepada perusahaan swasta yang kemidian dikembalikan ke Kas Daerah sebagai bentuk pengembalian kerugian negara. Padahal ada bukti yang menunjukan ada mufakat untuk menarik uang sebesar Rp9.179.846.000 dengan peruntukan Rp 2.000.000.000 membagun pabrik CPO PT SBM dan sisanya Rp7.179.846.000 dipergunakan untuk kepentingan pribadi.
9. Agusrin menyetujui modus menutup temuan penyimpangan BPK sebesar Rp 21,3 miliardengan cara makukan investasi saham melalui PT Bengkulu Mandiri kepada PT SBM dan PT BBN.
10. Agusrin melakukan proses pengembalian dana secara fiktif pasca temuan penyimpangan oleh BPK. Modusnya membuat bukti pertanggungjawaban seolah-olah ada pembelian steam boiler seharga Rp4,5 miliar.
11. PN belum menyerahkan putusan kepada penuntut umum, sehingga penuntut umum kesulitan membuat memori kasasi.
12. Tertangkapnya hakim S di dalam dugaan suap perkara pailit PT SCI menguatkan kecurigaan adanya praktik mafia hukum dalam kasus Agusrin. Pasalnya selain tindakan hakim diluar kewajaran dalam proses-proses persidangan, KPK menyita sejumlah uang dalam bentuk mata uang asing yang patut dicurigai dari perkara-perkara yang pernah bersangkutan tangani.
Dari kejanggalan-kejanggalan tersebut, Komisi Yudisial (KY) tengah menelaah dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim Syarifudin Umar saat menjatuhkan vonis bebas kepada Gubernur non aktif Bengkulu Agusrin Najamuddin.
Dan hingga saat ini pengusutan tengah dilakukan mengingat kasus besar ini telah begitu lama memakan waktu penuntasannya. Sebagai mana diberitakan diberbagai Media Lokal maupun Nasional, kasus yang telah memakan waktu kurang lebih lima tahun perjalanan ini akhirnya akan menemukan titik terang juga.
Tinggal menunggu kembali, apakah kejanggalan-kejanggalan yang ada merupakan bukti dari kejahatan mafia politik yang tersembunyi ataukah menjadi tabir yang semakin meyakinkan bahwa hukum negara ini memang milik kaum penguasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih telah mengunjungi blog kami..
silahkan tinggalkan kripik pedasnya :D