Oleh: Siami Maysaroh
Perbedaan antara gender dan seksualitas dalam konteks terminology dalam hal ini akan berkaitan erat dengan faktor-faktor social budaya, fenomenal dan berubahan-perubahan pada sebuah pengaruh. Bias gender menjadi hal yang dominan saat ini sehingga kajian mengenai gender tidak berada dalam gerakan yang konsisten lagi.
Perbedaan antara gender dan seksualitas dalam konteks terminology dalam hal ini akan berkaitan erat dengan faktor-faktor social budaya, fenomenal dan berubahan-perubahan pada sebuah pengaruh. Bias gender menjadi hal yang dominan saat ini sehingga kajian mengenai gender tidak berada dalam gerakan yang konsisten lagi.
Adanya tuntutan dari aliran pejuang gender (feminisme) adalah awal persoalannya. Statement menarik bahwa eksistensi feminisme berada pada maskulinitas membawa kita pada gerakan yang kembali tersandung. Berbicara gender maka berbicara antara relasi laki-laki dan perempuan. Bias gender tidak 100% salah, karena menentukan bentuk-bentuk pengaruh atas nila-nilai.
Sesuatu yang kodrati menentukan bentuk-bentuk gender. Beberapa hal yang mempengaruhi dalam konteks ini yaitu, pendidikan, budaya dan seksualitas dalam membentuk peran dan hal lainnya.
Dalam rangka merekontruksi nilai-nilai gender, feminis melakukan gerakan yang kontradiktif, karena mereka memaksakan hal yang homogeny atas keadaan yang terbentuk saat ini.Akar feminisme adalah dari wilayah barat, namun celakanya gerakan ini dipaksakan untuk semua orang diseluruh wilayah dunia untuk memiliki pandangan sama terhadap mereka.
Jika ditilik dari lokal wisdom perlakuan yang dilakukan oleh masyarakat yang dianggap primitive, yang salah satunya menganggap bahwa menyerahakan kehormatan mereka untuk sebuah penghargaan atas keberhasilan sesorang pada saat tertentu adalah sebuah penghormatan, padahal dalam wilayah lain ini merupakan pelanggaran nilai-nilai. artinya ada ketidaksesuaian antara pandangan akan nilai-nilai kelayakan disini.
Gender ini adalah sebuah jenis kelamin social yang dipengaruhi oleh bentukan budaya dan social. Perspektif ketika kita bicara gender selama ini sering menempatkan laki-laki menjadi pelaku dan perempuan menjadi korban. Konteksnya adalah pada social budaya. Mental masyarakat, dalam bukunya ibnu kaldun memberika peryataan bahwa masyarakat itu selalu menganggap pemimpinya adalah superior adalah salah satunya. Dari sini secara tidak langsung perspektif kita dikooptasikan pada pernyataan bahwa superior lebih kuat kemudian menimbulkan imperior yang siap dikatakan lemah.
Dari sinilah bibit ketidak adilan muncul karena imperior lebih lemah dan superior menguasai. Kalau perempuan punya kelebihan maka dia lebih layak menjadi pemimpin. Ketidakadilan menimbulkan negasi. Dalam pandangan lain pun menyebutkan bahwa, Orang yang dijajah akan cenderung menjadi pengikut penjajah. Mental dari dua jenis kelamin ini menjadi setara, seharusnya!
Terlepas dari itu maka kesepakatan budaya yang disusun masyarakat tetap tidak boleh lari dari nilai-nilai kesepakatan yang seimbang. Bagaimana masyarakat menempatkan ini menjadi positif.
Dan berbicara mengenai rekontruksi ini maka untuk menemukan yang namanya nilai-nilai ini kita cari dulu teks dibalik penetapan kesepakatan ini apa? dan harus pula melalui sebuah proses deasi. Proses kontektualisasi tidak dapat langsung dihubungkan pada kejadian yang saat ini terjadi. Dalam hal ini pun konsep keadilan dan kesetaraan yang diperjuangan kan lebih dititik tekan pada sebuah keseimbangan. Bahwa perempuan dan laki-laki dalam hal ini diletakan pada kontruksi social yang saling menyeimbangakan.
Artinya disini bahwa perempuan berhak mendapatkan kebutuhan dalam memperjuangkan hak-hak yang mereka anggap nyaman tanpa menggangu kenyamanan akan pemenuhan kebutuha dari pihak laki-laki.Titik focus pada diskus mala ini adalah sebuah bentukan yang mendekati pada kebenaran yang coba di tawarkan oleh Sekolah Gender atas pemikran dan pandangan yang dimiliki oleh msyarakat luas saat ini.
Perempuan memiliki kesempatan yang sama, dengan cara dan penepatan yang sesuai dengan produktifitas mereka sebagai manusia. ‘lakukan apa yang bisa dan mau dilakukan’ maka akan menimbulkan keseimbangan produktifitas perempuan bukan hanya pada wilayah domestik saja namun juga wilayah publik yang sejatinya memang berada sama pada proporsinya. laki-laki pun seperti itu, mereka punya ruang yang sama untuk menjadikan diri mereka tidak bersandiwara atas kooptasi yang menyatakan bahwa laki-laki harus lebih kuat dari perempuan.
Kita semua mencoba menimbulkan pemahaman dan penyatuan pemikiran atas rekontruksi nilai yang disepakati, bukan untuk merubah sikap dan perubahan, tapi justru lebih pada bagaimana kemudian masyarakat merasakan kepekaan dalam kasus-kasus kekerasan yang mereka alami, yang mereka baca atau sekedar mereka dengar di lingkungan mereka.
masih butuh upaya memperjuangkan sebuah konsep yang menawarkan bagaimana gerakan atas perjuangan yang kita tawarkan ini bersifatSensitive gender!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
terimakasih telah mengunjungi blog kami..
silahkan tinggalkan kripik pedasnya :D