oleh: Siami Khadijah Maysaroh
Media literacy dikonsepkan sebagai “the ability to access, analyse, evaluate and create messages across a variety of contexts” menyebutkan bahwa media literacy adalah ketrampilan untuk memahami sifat komunikasi, khususnya dalam hubungannya dengan telekomunikasi dan media massa. Konsep ini diterapkan pada beragam gagasan yang berupaya untuk menjelaskan bagaimana media menyampaikan pesan-pesan mereka, dan mengapa demikian.
Lalu apa hubungannya dengan pergerakan mahasiswa?? Terlebih diranah partisipasi politiknya??
Mungkin sebuah stamen dapat menjawab pertanyaan diatas. Bahwa: “Bukankah seharusnya media menjadi ‘anjing penjaga’ masyarakat tentang keberadaan pemerintah. Bukannya menjadi ‘anjing peliharaan’ pemerintah untuk mengombang-ambingkan masyarakat”. Jelas dikatakan media adalah sebagai literasi perkembangan masyarakat dibidang apapun.
Dan ini yang menjadikan kita harus berpikir lebih kritis lagi untuk bagaimana caranya agar media yang menjadi icon penggerak perkembangan isue dan penyebaran asumsi pemikiran pada masyarakat sejalan dengan pergerakan mahasiwa. Dari analisis pergerakan mahasiswa yang saya amati akhir-akhir ini terjebak pada pemberitaan media yang tak satu tubuh pada tujuan gerak mahasiswa. Seperti misal aksi demo selasa lalu yang memprotes vonis bebas murni gubernur Agusrin M. Najamudin setelah sebelumnya divonis sebagai terdakwa kasus korupsi Dana bagi hasil PBB/BPHTB sebesar 21.3 Milyar Rupiah. Dalam pemberitaanya di sejumlah media massa, yang menjdi headline dari pemberitaan bukanlah kejanggalan atas vonis yang dijatuhkan. Namun aksi bentrok mahasiswa dan polisi yang menjadi malah disebarkan oleh pemberitaan Lokal kita. Tak ada satu pun media massa yang mengekspose permasalahan aspirasi mahasiswa yang menuntut kasasi serta peninjauan ulang atas vonis yang dijatuhkan pada terdakwa korupsi Agusrin M. Najamudin yang blum dipenuhi oleh pihak pemerintahan.
Masih kah netral media kita hari ini?? Jelas tidak. Lalu kenapa masih berdiam pada pemberitan yang demikian. Beranjaklah pada metode pergerakan baru. Dengan menjadikan kita, ‘Mahasiswa’ sebagai media bagi masyarakat. Sebagai pembanding bagi masyarakat atas isue dan informasi yang selama ini berkembang. Masyarakat adalah jantung peradapapan kita. Ketika virus pesimisme yang dijejalkan oleh media menggerogoti asumsi mereka maka selamanya mereka akan berada dalam pengendalian media yang secara terang-terangan berpihak pada pemerintah.
Sebuah Teori dalam komunikasi ‘use gravitation’ dan ’agenda setting’. Dimana menjelaskan ‘use gravitation’ adalah bagaimana masyarakat yang emnjadi penentu akan kebutuhan yang mereka inginkan pada media sedang ’agenda setting’ yaitu bagaimana media yang menentukan akan kebutuhan masyarakat. Teori ini harus berdiri seimbang agar tidak terjadi ketimpangan akan kebutuhan informasi kedepannya.
Dan berpkirlah kita bagaimana menjadi seorang mahasiswa yang tidak terjebakk oleh media! Menjadi mahasiswa yang bersaing dengan media sebagai jurnalis bagi masyarakat. Jika ingin menjadi penguasa dunia, maka kuasilah media. Jika ingin melawan ‘penguasa’ maka jadilah media ‘penguasa’.
teori uses and gratification tidak berlaku selama masyarakat belum mengerti bagaimana berita itu di bingkai. mahasiswa ilmu komunikasi semestinya sudah mengerti ini. tetapi masih saja berdemo dengan gaya ortodoks...hehehe maaf...tuntutan dalam aksi demo kalah menarik dengan bentrokan yang terjadi( bagi media). pesan yang dikemas secara tidak komunikatif membuat itu semua menjadi basi. mahasiswa jauh2 hari telah membangun image negatif pada media di bengkulu. terang saja jika bumbu-bumbu seperti ini menambah kesan basi dalam setiap peliputan media bengkulu. btw...banyakin lagi postingnya...semangat..
BalasHapus